Oleh: Tri Sulastri
Perkembangan teknologi informasi membawa berbagai kemudahan dalam kehidupan khususnya dalam bidang informatika. Salah satunya adalah informasi kesehatan yang memungkinkan setiap orang dapat mengetahuinya tanpa harus pergi ke dokter. Bahkan penelitian menyebutkan 8 dari 10 orang dewasa di Amerika mencari informasi kesehatan secara online, 75 persen diantaranya tidak memeriksa validitas sumber dan tanggal pembuatan informasi tersebut (Pew Internet and American Life Project, 2007; White & Horvitz, 2009).
Adakah diantara sahabat asisya yang pernah melakukan hal serupa? Baik untuk mendapatkan informasi kesehatan maupun kondisi kesehatan mental, lalu memutuskan bahwa apa yang dikatakan internet merupakan kondisi yang sebenarnya terjadi pada diri kalian? Hati-hati, ini termasuk self-diagnosis lho!
Apa itu self-diagnosis?
Self-diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri ialah meyakini bahwa diri memiliki suatu penyakit atau gangguan kondisi tertentu berdasarkan pengetahuan yang didapat dari informasi yang berkaitan dengan keadaannya (Akbar, 2019). Informasi tersebut bisa diperoleh seseorang melalui buku, situs web, atau bahkan pengalamannya pribadi. Tanpa melakukan pengecekan medis selanjutnya dan mendapat kepastian dari dokter atau tenaga ahli yang berwenang.
Kenapa seseorang melakukan self-diagnosis?
Self-diagnosis dapat dikatakan hal yang baik ketika seseorang mengedukasi dirinya mengenai kondisi kesehatan untuk dijadikan langkah pertama mencari pertolongan medis. Salah satu media yang biasa digunakan ialah situs web karena aksesnya yang mudah dan cepat daripada materi tertulis ataupun mengunjungi dokter (Ryan & Wilson, 2008).
Selain itu, beberapa faktor yang mempengaruhi self-diagnosis antara lain karena keterbatasan biaya, waktu, akses layanan, kondisi pasien yang belum siap berobat, atau ketidaktahuan adanya tenaga medis yang menangani hal terkait menjadi (Jaya, 2019; Julia, 2020). Terutama Indonesia dimana masih banyak daerah yang sulit menjangkau fasilitas kesehatan untuk mengetahui penyakitnya. Sehingga mencari secara online melalui laman situs web dianggap lebih efisien.
Apakah self-diagnosis berbahaya?
Informasi yang didapat melalui internet untuk menjadi bahan self-diagnosis memiliki akurasi dan kualitas mengenai kesehatan yang rendah. Hal ini disebabkan siapapun dapat mengatur situs web, atau informasi ditulis berdasarkan rumor atau pengalaman individu namun dianggap sebagai fakta oleh pembaca (Ryan & Wilson, 2008). Berbeda halnya dengan jurnal atau publikasi ilmiah yang melalui pengeditan dan pengecekan sebaik mungkin daripada situs web meskipun ditulis oleh organisasi bereputasi tinggi.
Terdapat beberapa bahaya yang dapat terjadi dari perilaku Self-diagnosis, antara lain (Ryan & Wilson, 2008):
- Membawa individu dalam kondisi cyberchondria
Kebiasaan self-diagnosis ini dapat menyebabkan cyberchondria yang mengacu pada kondisi kekhawatiran tidak berdasar mengenai hasil diagnosis yang ditemukan melalui internet (White & Horvitz, 2009). Kekhawatiran ini yang berkaitan dengan kesalahan atau kebenaran diagnosis kondisi yang serius dan atau mengancam.
- Kesalahan diagnosis
Diagnosis diperoleh tanpa adanya tenaga ahli untuk memberikan konteks yang merefleksikan diagnosis berbeda atau untuk menerapkan langkah yang diperlukan untuk membuat diagnosis pasti. Contohnya dalam mendiagnosis individu yang sedang mengalami mood swing dengan gangguan bipolar dimana memiliki gejala serupa. Tanpa adanya tindakan lanjut untuk memastikan kondisi yang sebenarnya secara medis maka individu mungkin hanya mendapatkan diagnosis yang keliru.
- Mendapatkan pengobatan yang salah
Perolehan diagnosis yang keliru memungkinkan individu tersebut melakukan pengobatan sendiri atau membeli obat yang salah. Apalagi orang Indonesia lebih menyukai pengobatan alternatif atau tradisional. Walaupun belum tentu salah, namun pengobatan tanpa diagnosis yang tepat dapat memicu resiko kesehatan yang lebih tinggi.
- Tidak terdeteksinya gangguan kesehatan yang lebih serius
Gejala-gejala yang tidak disadari karena tidak adanya pemeriksaan medis dapat membawa pada gangguan kesehatan yang tidak terdeteksi. Misalnya pada individu yang mengira memiliki gangguan panik akibat detak jantung yang tidak beraturan tanpa mengetahui bahwa ia memang memiliki gejala penyakit jantung. Secara garis besar, self-diagnosis berdasarkan situs web dapat memberikan jaminan palsu dan membuat individu untuk menunda mencari pertolongan dan diagnosis ahli.
Kemudahan mengakses informasi kesehatan secara online dianggap mampu memberikan edukasi mengenai kondisi pada diri seseorang. Selain itu, keterbatasan yang menghalangi individu mencari pertolongan tenaga ahli pun diharapkan dapat dijawab melalui self-diagnosis.
Namun informasi yang tidak disikapi dengan bijak hanya akan membahayakan kesehatan. Informasi tersebut harus terus diperhatikan mengenai akurasinya dan alangkah lebih baik jika hanya dijadikan pengetahuan dasar sebelum pergi ke tenaga profesional. Sebab untuk mendapatkan diagnosis yang tepat diperlukan rangkaian tes yang tidak instan.
Jika kamu merasakan kondisi yang tidak baik dan kamu tidak yakin mengenai hal tersebut, maka jangan ragu untuk mencari pertolongan ya. Perilaku self-diagnosis mungkin hanya akan membuatmu mendapatkan diagnosis yang keliru dan menghambat mendapatkan pertolongan yang tepat.
Sumber:
Akbar, M F. 2019. Analisis Pasien Self-Diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Jurnal. diakses dari https://osf.io/preprints/inarxiv/6xuns/ pada 29 Maret 2021.
Julia. 2020. Dua Sisi Self-Diagnosis. diakses dari https://ukesma.ukm.ugm.ac.id/2020/08/30/dua-sisi-self-diagnosis/#:~:text=Beberapa%20faktor%20lainnya%20yang%20mendorong,terkait%20(Jaya%2C%202019). pada 1 April 2021.
Ryan, A., & Wilson, S. 2008. Internet Healthcare: do self-diagnosis sites do more harm than good? Expert Opinion on Drug Safety, 7(3), 227-229. diakses dari https://doi.org 10.1517/14740338.7.3.227 pada 29 Maret 2021.
White, R. W., & Horvitz, E. 2009. Cyberchondria: Studies of the Escalation of Medial Concern in Web Search. ACM Transactions on Information Systems, Vol. 27, No. 4. diakses dari https://www.microsoft.com/en-us/research/publication/cyberchondria-studies-of-the-escalation-of-medical-concerns-in-web-search/ pada 29 Maret 2021.